Minggu, 05 Agustus 2012

Ewang Me Suttang - Demikianlah Yang Kudengar

Salah satu dari 12 cerita dalam buku Ewang Me Suttang

Cerita 1. Raksasa di Sekolah
Suatu ketika, 17 Oktober 2008, waktu itu hari masih pagi, pelajaran pertama baru saja berakhir. Teman-teman seperti biasa gaduh, karena guru selanjutnya belum masuk kelas. Tiba-tiba aku meraskan adanya gempa, aku ketakutan. Aku cepat-cepat memasukkan buku-bukuku ke dalam tas, sambil berpikir gempa ini cukup kuat, tidak seperti biasanya. Teman-temanku heran melihat kelakuanku.

Selagi aku berpikir demikian, tiba-tiba, datanglah sesosok mahluk raksasa ! Aku sangat kaget melihatnya. Mahluk itu berteriak keras sekali. Spontan aku menutup telingaku.

Mahluk itu melihat ke sekeliling, memperhatikan teman-temanku yang masih bercanda dan gaduh. Akhirnya pandangannya berhenti kepadaku, karena aku terus memandangnya. Tadinya aku ingin menutup mataku, tapi tak kulakukan karena aku penasaran juga.

Kamu pun mulai berkomunikasi. Dia memujiku sebagai anak yang baik, karena aku anak yang tidak berisik di kelas. Selagi berkomunikasi dengannya, datang wali kelasku memasuki kelas. Raksasa itu pun keluar kelas dan menuruni tangga. Sudah tentu suara langkah kakinya sangatlah keras.

Selagi ibu guru mengajar, aku "sibuk" berkomunikasi lagi dengan nya. Dia bercerita, dulunya dia adalah seorang guru. Dia mengajar mata pelajaran olahraga. Dia sangat galak dan disiplin. Dia punya seorang istri yang cantik, sesama guru juga. Raksasa itu bilang bahwa aku pernah bertemu dengan istrinya. Aku bertanya, "Yang mana ?".

Raksasa itu menjawab, ketika aku ketinggalan barang di sekolah, sore-sore aku datang ke sekolah. Waktu itu aku memasuki kelas, ada seorang ibu guru yang sedang mengajar. Di papan tulisnya ada tulisan bahasa jawa kuno. Ternyata ibu guru itu adalah istrinya.

Dia bilang, dia dan murid-muridnya mati terbakar disebuah sekolah. Dia sangat senang bisa curhat sama aku. Dan dia sekarang menganggap aku sebagai temannya.

Ketika pulang sekolah, aku menceritakan pengalamanku hari ini di sekolah. Reaksi mamaku adalah merasa geli dan tertawa-tawa. Mama bilang, "Kamu lucu y, Vi, punya teman kok raksasa..." Walaupun Mama tertawa-tawa, tapi aku tahu Mama percaya dengan apa yang kukatakan. Terimakasih, Mama...

Ewang Me Sutang...
Demikianlah yang kudengar...


Cerita 2. Mahluk Halus di Perumahan

Suatu ketika, 22 Juli 2010, aku pulang dari sekolah. Saat memasuki perumahan, kulihat banyak mahluk halus di sekitar gerbang perumahan. Mereka ada di pohon, di dekat pangkalan ojek, di atas pagar rumah, dan di mana-mana. Mereka semua menatapku dan tertawa.

Wujud mereka sama. Kurus, telanjang, tanpa alat kelamin, sekeliling mata mereka hitam. Yang membedakan mereka hanya ukuran tubuh dan rambutnya. Ada yang berbadan sedang dan ada yang berbadan kecil seperti anak-anak. Ada yang berambut panjang dan ada yang berambut pendek.

Lalu aku menanyai mereka, "Kenapa kalian bisa terlahir seperti itu ?" Mereka menjawab bahwa mereka dulu tinggal di situ. Dan mereka semua mati dibunuh.

Karena mereka mati dengan cara mengenaskan, mereka semua terlahir kembali bersama-sama dan menghuni tempat di mana dahulu mereka hidup...

Ewang Me Sutang...
Demikianlah yang kudengar...


Cerita 3. Algojo India

Cerita berlanjut, setelah aku sampai di rumah... Sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil, aku selalu menceritakan apa yang kualami setiap harinya kepada Mama. Mama adalah pendengar setiaku. Aku menceritakan apa yang tadi kulihat ketika pulang sekolah, sewaktu aku memasuki gerbang perumahan. Sambil mendengarkan, Mama menyiapkan makan soreku.

Selagi bercerita, kudengar suara tangisan. Aku mencari sumber suara itu. Ternyata suara itu ada di tangga rumahku. Aku terkejut melihat sesosok mahluk algojo. Mahluk itu menghampiri aku dan Mama. Aku bertanya kepadanya, "Siapa kamu ? Mengapa kamu menangis ?"

Mahluk itu pun menceritakan kisah hidupnya sambil menangis...

"Dulu aku adalah seorang algojo di India. Aku sudah membunuh ribuan orang. Aku melakukannya karena sudah tugasku. Aku tidak mengenal cinta kasih yang sesungguhnya. Aku menangis, karena aku terharu melihat cinta kasih ibumu yang begitu besar kepadamu. Aku tidak pernah merasakan cinta kasih dari ibuku. Ibu tidak mendidiku dengan benar, hanya ayahku saja, dan itu pun tidak bertahan lama, ayahku meninggal karena sakit..."

Aku terhenyak mendengar ceritanya. Aku pun bertanya kepada Mama, adakah yang ingin Mama sampaikan kepadanya. Mama berkata, "Semoga kelak kamu tidak terjatuh lagi ke alam yang rendah kalau kamu sudah terlahir lagi ke alam manusia. Semoga kamu bahagia..."

Aku pun mendoakan hal yang sama. Wajahnya yang tadinya sedih dan menangis, seketika terlihat cerah. Dia pun beranjali kepadaku dan kepada Mama. Dia lalu berpamitan, dia bilang dia akan pergi untuk mencari adiknya. Entah adiknya berada di mana, dia pun tidak tahu. Tapi dia akan terus mencarinya...

Ewang Me Sutang...
Demikianlah yang kudengar...


Cerita 4. Ketika Membersihkan Altar

Suatu ketika, 3 Juli 2010, hari itu bertepatan dengan dimulainya masa wassa (masa retret para biksu di musim hujan). Sejak kemarin, Mama dan aku berniat untuk membersihkan patung-patung dan meja altar.

Hari ini kami bersukacita, karena kami melakukan karma baik bersama-sama. Setelah kami selesai membersihkan patung dan meja altar, datanglah dua dewi dan dua dewa.

Yang dewi berada di sebelah kiri Mama, dan ada dua dewa, yang satu di sebelah kanan Mama, yang satu lagi di belakang Mama. Yang dewi dan dewa di sebelah kiri dan kanan menepuk bahu Mama. Sedangkan satu dewa lagi menghampiriku, lalu menepuk bahuku.

Dewa itu memakai pakaian terusan panjang berwarna putih, berambut hitam panjang, memakai mahkota putih yang ujungnya berbentuk seperti wajik. Di atas ujung mahkota itu ada selendang berwarna putih. Sedangkan yang dewi, hampir sama ciri-cirinya dengan yang dewa, hanya berbeda di bagian tangan dan bibir. Tangan dewi lebih kecil dan bibirnya merah. Wajah mereka sangat rupawan dan seluruh tubuh mereka berkilauan.

Aku heran mengapa mereka datang. Apa yang mereka inginkan ? Sebelum dewa dan dewi itu menjawab pertanyaanku, aku kaget melihat serombongan dewa-dewi datang. Mereka banyak sekali, berbaris dari ruang tamu dan memasuki ruang puja baktiku. Karena ruangannya kecil, mereka ada yang duduk di ruang tamu, sambil tetap menghadap ke altar. Seiring mereka memasuki ruang puja bakti, aku dan Mama bernamaskara kepada mereka.

Mereka lalu mengambil sikap namaskara, dan melafalkan paritta bersama-sama. Setelah mereka selesai melafal paritta, mereka memberi kami kesempatan untuk bertanya hal-hal yang ingin kami tahu. Mereka sempat memberitahukan kehidupan lampau Mama, atas pertanyaan Mama.

Lalu Mama bertanya, perbuatan baik apakah yang telah mereka lakukan sehingga bisa terlahir di alam surga ? Salah satu dari dewa itu menjawab, "Dulu kami semua adalah penduduk di suatu desa. Kami semua melakukan kebajikan bersama-sama untuk desa kami. Seperti, membangun jembatan, membuat jalan, dan lain-lain. Kami selalu saling membantu dan bekerja sama. Kami semua dipimpin oleh seorang pemimpin yang bijaksana. Kami semua sangat menghormatinya."

"Hingga suatu ketika, para pendatang menyerbu desa kami. Dengan maksud melenyapkan desa kami. Mereka membakar semuanya. Banyak nyawa yang melayang sia-sia karena peristiwa ini. Kami yang sekarang ini, dulu mati terbakar bersama-sama. Karena kebajikan yang kami lakukan kurang lebih setara, dan kami lakukan secara bersama-sama, kami terlahr kembali secara bersama-sama di alam surga yang sama."

Mama lalu bertanya lagi, "Mengapa terlahir di alam dewa ? Sedangkan kalian meninggal dengan menderita karena dibakar ?" Dewa itu pun menjawab, "Walaupun kami mati dibakar, tapi pikiran kami tenang, karena kami ingat perbuatan baik yang telah kami lakukan. Orang baik dan orang jahat yang meninggal, orang yang baik lebih tenang pikirannya, meski penderitaannya mungkin sama pada saat meninggal. Orang jahat sudah menderita fisiknya, juga menderita batinnya..."

Aku dan Mama berterima kasih atas kehadiran mereka dan atas pembabaran Dhamma dari mereka. Lalu mereka pun pamit, pulang lagi ke alamnya...

Ewang Me Sutang...
Demikianlah yang kudengar...


Cerita 5. Dewi yang Menyembuhkan Mama

Suatu ketika, 14 Agustus 2010, seperti biasa aku dan Mama sedang berbincang-bincang di ruang makan. Saat aku menoleh ke arah tangga, aku melihat ada dewi yang sedang menuruni tangga. Dewi itu sangat cantik, memakai baju putih dengan rambut hitam panjang terurai. Aku pun segera beranjali kepadanya.

Ketika kami sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba Mama mengeluh kepalanya pusing. Mama memang menderita suatu penyakit. Mendengar Mama mengeluh pusing, dewi itu secepat kilat menghampiri Mama, dan berusaha menyembuhkan Mama dengan cara menyentuh bahu Mama. Seperti orang yang sedang menyalurkan tenaga dalam.

Aku pun bertanya kepada Mama, apakah sudah sembuh. Mama menjawab, "Iya, sudah sembuh..., aneh, sembuh tiba-tiba." Padahal biasanya jika sakit itu sedang kambuh, jangkan duduk, berbaring pun tetap saja tidak meringankan sakitnya.

Kemudian aku menceritakan kepada Mama, apa yang sudah terjadi. Bahwa ada sesosok dewi yang sudah berusaha menyembuhkan sakit Mama. Mendengarkan hal itu, Mama mengucapkan terima kasih sambil beranjali.

Aku lalu bertanya, perbuatan baik apakah yang telah dilakukan sehingga bisa terlahir sebagai dewi ? Dewi itu lalu bercerita...

Dulu dia terlahir di Tiongkok. Pekerjaannya adalah sebagai tabib. Dia punya keahlian meramu obat-obatan. Dengan keahliannya itulah, dia berbuat baik menyembuhkan banyak orang.

Atas kebajikannya itu, dia terlahir di alam dewa dengan wajah yang cantik, dan masih membawa sifatnya, ingin selalu membantu orang dengan menyembuhkan penyakit.

Ewang Me Sutang...
Demikianlah yang kudengar...


Cerita 6. Siluman Macan-Naga-Kerbau

Suatu ketika, 19 Agustus 2010, papa membuatkan aku sarapan pagi, mi goreng. Dua piring mi goreng itu diletakkan di meja, satu untukku, satu lagi untuk Mama. Mama sedang sibuk melakukan pekerjaan rumah tangga, sedangkan aku baru saja selesai mandi untuk bersiap pergi ke sekolah.

Aku melihat mahluk itu, ketika dia sedang ingin makan mi goreng punya Mama. Mahluk itu sangat mengerikan. Perpaduan dari tiga macam binatang : macan, naga dan kerbau. Kepala dan wajahnya menyerupai kerbau, punya tanduk seperti kerbau. Tapi dia punya kumis seperti naga, jari-jari dan kukunya seperti naga. Bertubuh manusia, tapi tubuhnya loreng-loreng seperti macan. Loreng-lorengnya berwarna abu-abu pekat, sedangkan bagian yang tidak berloreng seperti berpasir dan berwarna abu-abu pucat.

Waktu aku keluar dari kamar mandi, aku bertanya kepada Mama, milik siapakah mie goreng yang berada di sebelah kiri. Mama bilang, mi itu punya Mama. Ketika aku menceritakan bahwa ada mahluk yang menyeramkan sedang bersiap memakan mie itu, spontan Mama berkata, Mama akan memberi mereka makan. Mama pun menyiapkan semangkuk kecil mi untuk mereka. Aku menyebut mereka, karena ada satu mahluk lagi yang juga ingin makan mi itu. Mahluk itu perempuan, anak kecil, kurus badannya. Memakai baju transparan, panjang rambut sedang dan lurus.

Semangkuk kecil mi itu lalu diletakkan Mama di dapur. Ketika mahluk kecil itu ingin makan, mahluk yang menyeramkan itu mendorongnya. Melihat itu, aku menegurnya. Aku bilang, berbagilah makanan itu, makan bersama-sama.

Mahluk itu menuruti apa yang kukatakan. Ternyata, kebiasaan buruk semasa dulu mereka hidup di dunia, masih saja dibawa ke kehidupan yang sekarang. Semasa hidup di dunia, mahluk menyeramkan itu punya sifat serakah...

Ewang Me Sutang...
Demikianlah yang kudengar...


Cerita 7. Dewa-Dewi Rupawan

Suatu ketika, 20 Agustus 2010, seperti biasa Mama membaca paritta. Setiap Mama atau aku membaca paritta, dewa dan dewi yang datang selalu berbeda-beda.

Mereka bergantian datang. Wujud, pakaian, ataupun alam asal mereka selalu berbeda. Kali ini yang datang, banyak sekali dewa dan dewi. Mereka cantik jelita dan tampan rupawan.

Setelah Mama selesai membaca paritta, aku menanyakan kepada mereka, "Perbuatan baik apakah yang telah dilakukan sehingga kalian bisa terlahir di alam dewa dengan wajah yang sangat rupawan ?".

Salah seorang dari mereka menjawab dan bercerita. Dulu, sewaktu mereka menjadi manusia, mereka sama sekali tidak cantik dan tampan. Mereka hanyalah orang-orang desa yang sederhana. Bahkan kulit mereka gelap terbakar sinar matahari karena mereka semua terbiasa bekerja keras di sawah. Tapi kehidupan mereka di desa sangatlah damai. Karena mereka saling tolong menolong, bekerja sama membangun desa untuk kepentingan masyarakat. Mereka hidup rukun dan bahagia, karena sering melakukan karma baik bersama-sama secara tulus.

Atas perbuatan baik yang telah mereka lakukan secara bersama-sama, dan demi kepentingan orang banyak, mereka terlahir lagi di alam dewa yang sama, dengan wajah yang sangat rupawan.

Ewang Me Sutang...
Demikianlah yang kudengar...


Source : Paramita Devi Navasanti (Ehipassiko Foundation)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar